ANGGRENI DUTA: PERSEMBAHAN GURU-DAKSINA KEPADA DRONA

Authors

  • Anak Agung Gde Alit Geria Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.59672/stilistika.v13i1.4212

Keywords:

Geguritan, guru-daksina, satyeng alaki-rabi, keadilan

Abstract

Geguritan Dyah Anggreni merupakan hasil karya sastra lama sarat akan nilai adiluhung. Pada hakikatnya, kandungan isi yang tersirat dalam Geguritan Dyah Anggreni memiliki inti ajaran Hindu yang mencakup satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan). Artinya, keharmonisan akan terwujud jika dibangun oleh sikap hidup yang seimbang, yakni hubungan dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan semesta alam yang disebut Tri Hita Karana. Geguritan Dyah Anggreni karya I Made Jimbar yang bersumber dari cerita Adiparwa ini, selesai ditulis pada tahun Saka 1923 (2001 Masehi), terdiri dari 7 pupuh dan 196 bait. Teks beraksara Latin berbahasa Kawi-Bali ini, berisikan tentang perjalanan Dyah Anggreni sebagai duta dari suaminya (Bambang Ekalawya) untuk mempersembahkan guru-daksina kepada Mahaguru Drona di Hastinapura.

Konsep guru-daksina, merupakan tradisi zaman mahabharata yakni pemberian sesuatu dari seorang sisya (murid) kepada seorang siwa (guru) sebagai ucapan terima kasih seorang murid atas segala pengetahuan yang telah diajarkan gurunya. Walaupun lewat sebuah patung berwujud Drona, diyakini sebagai guru sejati yang mampu memberi segala ilmu pepanahan (dhanurdhara) hingga meresap pada diri Ekalawya. Di perjalanan, Dyah Anggreni dihadang para begal yang akhirnya minta bantuan kepada Arjuna. Ada janji yang seakan tergesa-gesa (kadropon) dilontarkan Dyah Anggreni kepada Arjuna, demi keselamatan dirinya dan para begal dapat terbunuh. Setelah berhasil, Arjuna menuntut janji hingga Dyah Anggreni berlari hingga jatuh ke jurang. Beruntung masih bisa diselamatkan oleh Dewi Peri. Mendengar kisah tersebut, Ekalawya segera minta keadilan ke Hastinapura, hingga perang tanding melawan Arjuna. Kemudian Arjuna menuntut balas ke Nishada. Akhirnya Ekalawya terbunuh dalam perang tanding karena kesaktian berupa cincin kresnadana dan ibu jarinya diminta oleh Kresna dan Drona. Karena kesetiaannya, Ni Dyah Anggreni kemudian mati bunuh diri sebagai tanda satyeng laki hingga mereka bertemu kembali di alam surga, karena telah melaksanakan kewajiban sebagai suami-istri yang baik dan setia (satyeng alaki-rabi) di mercapadha (dunia nyata)

Downloads

Download data is not yet available.

References

Agastia, IBG. 1998. Ida Pedanda Made Sidemen: Pengarang Besar Bali Abad ke-20. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Arnata, I.B Putra. 2002. Geguritan Candra Bherawa Kajian Penokohan dan Amanat. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud.

Geria, Anak Agung Gde Alit, I Nyoman Riawan. 2019. Geguritan Ni Dyah Anggreni. Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Jimbar, Made. 2001. Geguritan Ni Dyah Anggreni. Amlapura: Kurnia Baru Copy Centre.

Muhadjir, H. Neong. 2000. Metodologi Penilitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyono, E. (2013). Belajar Hermeneutik. Yogyakarta: IRCiSoD.

Medera, I Nengah, dkk. 1986. Terjemahan dan Kajian Nilai Astadasaparwa (Proyek Penelelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali). Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali.

Palmer, R.E. (2005). Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricoeur, P. (2014). Teori Interpretasi Membelah Makna dalam Anatomi Teks. Yogyakarta: Ircisod.

Purwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Ratna, I Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra No. 6 Th. IV. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Suarka, I Nyoman, I Wayan Suteja. 2005. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Suastika, I Made. 2002. Estetika, Kreativitas Penulisan Sastra, dan Nilai Budaya Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tuuk, H.N van der.1887-1912. Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenbook. 4 volume. Batavia: Landsdrukkerjj.

Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan (Cet. ke-15). Yogyakarta: Kanisius.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Zoetmulder, P.J. 1983 dan 1985 Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta: Djambatan.

Published

2024-11-22

How to Cite

Geria, A. A. G. A. (2024). ANGGRENI DUTA: PERSEMBAHAN GURU-DAKSINA KEPADA DRONA. Stilistika : Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Seni, 13(1), 129-138. https://doi.org/10.59672/stilistika.v13i1.4212